Gerak Jalan 17 Agustusan Terakhir di Lospalos
Lospalos, 17 Agustus 1998
Pada pukul tujuh pagi itu, aku sudah siap dengan seragam merah putih dan sepatu hitam kaos kaki putih
yang rapi. Rambut hitamku yang ikal sudah disisir rapi oleh mama dan dioles minyak
Rita sehingga makin mengkilap. Rambutku dikepang tunggal dan diikat karet gelang diujungnya sambil menunggu
untuk diikat lagi dengan pita warna merah putih dari bahan satin yang mengkilap
itu. Mamaku sibuk mencari pita tersebut setelah lupa dimana terakhir kali ia
meletakkannya semalam. Ah, kalau bukan karena pita itu, harusnya aku sudah di
tengah jalan saat ini. Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya ibuku menemukan pita tersebut dan
segera mengikatkannya di ujung kepanganku dengan simpul pita merah putihnya yang menjuntai
dirambutku yang hitam legam.
Didepan cermin, aku merasa
seperti menjadi gadis tercantik sedunia hari itu, tapi dari belakang ujung kepangan rambutku seperti ekor ikan mas Koki yang
menjuntai ketika berenang. Ah tak apalah, toh hari ini adalah hari besar yang
dirayakan setahun sekali. Jadi tampil cantik dan berbeda untuk acara hari ini
merupakan suatu keistimewaan seperti pesan
ibu kepala sekolah minggu lalu. Setelah sarapan aku berpamitan
dan segera berangkat. Di jalan raya, teman-temanku yang lainpun berdatangan dan
kamipun berangkat bersama. Cuaca kota Lospalos bulan itu cukup sejuk dan hangat
walau sedang musim kemarau.
Hari ini tanggal 17 Agustus adalah hari libur nasional tentunya
dan kami memang bukan akan pergi kesekolah tapi kami akan menuju ke kantor Pemerintah
Daerah (PEMDA) di daerah kampung Kartini I di Lospalos. Kampung ini masih
termasuk wilayah desa Fuiloro. Entah kenapa kampung ini dinamakan Kartini, mungkin karena orang
yang memberi nama desa ini adalah pengagum sejati Kartini. Sebenarnya jalan
kaki dari rumahku ke kantor PEMDA ini cukup jauh tapi mungkin karena berangkat
pagi beramai-ramai dengan teman-teman jadi
tidak terasa jauhnya.
Aku mengetahui hari kemerdekaan nasional pertama kali dari
buku pelajaran IPS. Yang aku tahu tentang
sejarah kemerkaan Indonesia waktu itu,
adalah bahwa Indonesia pernah dijajah oleh Belanda tapi selebihnya aku
kurang tahu. Ketika membaca kisah sejarah itu, aku penasaran apakah orang-orang di Lospalos
juga ikut berperang melawan tentara Belanda. Kota Lospalos ini adalah salah
satu kabupaten dari propinsi Timor-Timur, propinsi ke27 negara Republik
Indonesia. Aku tinggal dikota ini dengan
orangtuaku. Dari cerita yang kudengar, ternyata dulu di Lospalos penjajah yang
datang adalah orang Portugis. Lalu bagaimana ceritanya? Begitulah aku jadi
penasaran sendiri dan aku pernah bertanya pada orangtuaku tapi malah dimarahi
dan dilarang untuk tidak bertanya lagi. Aneh sekali, tapi sudahlah. Orang
dewasa memang paling tidak suka harus selalu menjawab pertanyaan anak kecil.
Sesampainya di kantor PEMDA, aku cukup
kaget melihat banyak orang sudah berkumpul disana. Mulai dari PNS, guru dari
berbagai sekolah dengan seragam batik biru laut, anak-anak dari SD-SD sekota
Lospalos serta anak-anak SMP dan SMA
setempat. Hari ini areal kantor PEMDA penuh dengan warna merah, putih, biru, abu-abu dan coklat
diseluruh penjuru. Semua anak sekolah dan guru-guru ini berkumpul dikantor PEMDA untuk mengikuti lomba
gerak jalan antar sekolah dalam rangka perayaan 17 Agustusan. Dan dalam hiruk
pikuk keramaian itu, aku malah grogi setengah mati karena aku bukan datang
untuk jadi penonton tapi sebagai peserta untuk mewakili kelompok kelas SD dari
sekolahku, SD Negeri Kartini 1. Oh
Tuhan, matilah aku. Aku sering gugup melihat banyak orang.
Padahal, sudah dari sebulan lalu aku
ikut latihan gerak jalan disekolah. Itupun bukan atas kehendakku sendiri tapi karena terpaksa setelah terpilih oleh Pak
Caetano, guru PENJASKES (pendidikan, kesehatan, jasmani dan olarhraga) yang
terkenal galak dan suka memukul dengan rotan favoritnya itu. Sebenarnya akupun
bisa saja bolos dan tidak ikut latihan tapi pak Caetano ini selalu rajin
mengabsen anggota-anggota murid gerak jalan dan siapa yang tidak datang akan
dihukum. Yah, daripada terus bersembunyi
dan pulangpun nanti dimarahi mama karena bolos, akupun masuk dalam regu gerak
jalan.
Awalnya, cukup menyebalkan harus
berjalan dengan gaya militer keliling lapangan sekolah yang luas itu. Mana
panas pula. Namun begitu melihat rotan pak Caetano aku memutuskan untuk latihan dengan serius
hanya agar aku selamat dari pukulan rotan tersebut walaupun terkadang tetap saja
aku tak luput dari pukulan panas rotan itu dan pulang dengan bilur dibetis yag
membuat mama shock. Aku sudah mengadu ke papa dan mama agar memarahi guru
tersebut tapi mereka malah mengatakan
dipukul guru itu sesuatu yang baik agar kelak kita bisa menajdi orang sukses. Itu
bagian dari perjuangan hidup sebagai anak sekolah. Ya ampun, entah darimana
filosofi ini tapi aku benar-benar tidak setuju! Kata mereka aku tidak boleh
menjadi anak cengeng yang sedikit-dikit dipukul langsung mengadu. Ah, andai saja
mereka tahu bagaimana beratnya harus berpura-pura jadi anak tegar padahal
hatinya menangis.
Dan tiba-tiba bayangan rasa sakit
rotan itu kembali menderaku. Bukan di betis tapi di hatiku. Haruskah aku mundur
sekarang ? Aku bisa saja duduk manis didepan rumah dan menonton mereka nanti
tapi tiba-tiba aku jadi ragu. Kupandangi kerumunan orag di acara ini. Bukankah
akupun telah menjadi bagian dari acara ini? Tidakkah itu terlalu pengecut untuk
mundur hanya karena takut? Atau aku
terus maju bergabung dalam regu sambil mengusahakan gerak jalan yang sudah aku
pelajari selama sebulan dengan segala siksaaan itu? Ah, kenapa pak Caetano harus memilih murid kelas 4 dan
bukan kelas 5 dan kelas 6 saja? Mereka kan sudah tinggi dan besar-besar pula.
Ah, mungkin karena tinggi badan dan postur tubuh gemuk sehatku ku yang dianggap
cukup. Andai saja aku punya postur tubuh kecil dan lebih kurus pasti aku tidak
akan terpilih. Tapi sayang semua sudah terlanjur dan aku sudah disini.
‘Lia, ayo bergabung dengan regu. Kalian
harus latihan pemanasan dulu dengan pak Caetano.’
Ibu guru Milli Munda, wanita
cantik dari Sulawei ini datang mengingatkanku. Aku mengangguk dan segera ikut
dengannya menuju tempat regu SD kami berada. Ya, akhirnya aku memilih untuk
tetap maju menjadi anggota regu gerak jalan sekolah ini. Kompetisi belum
dimulai karena masih menunggu bapak Bupati yang akan membuka acara. Pak Caetano
mulai membimbing kami untuk mengambil posisi dalam barisan empat baris. Ia meneliti
sudut kelurusan barisan kami dan mulai memberi aba-aba baris-berbaris.
Siaaaap grakk! ….. Lencang kanaan
Grakk!... Lencang kiri grakk!..... Istirahat
ditempaaaat gerak!.... Maju jalan!!
Setelah melakukan beberapa
latihan pemanasan ringan, kami mulai berjalan sambil mengangkat kaki kanan
setinggi lutut dan tangan kanan dan kiri diaayunkan kedepan secara bersama-sama
dengan teratur. Di depan kami Pak Caetano juga ikut memperagakan sambil
meneriakkan kata konsentrasi berulang-ulang.
Setelah limabelas menit latihan, kami pun berhenti dengan
aba-aba dari Pak Caetano. Ibu Milli Munda datang membawa minuman dan makanan
ringan bersama guru lainnya.
‘Anak-anak, jangan lupa. Nanti kalian harus tetap
konsentrasi. Lihat kedepan dan jangan tengok kiri-kanan. Kalau tidak, kalian bisa
salah langkah dan teman dibelakang juga akan salah langkah. Nanti itu bisa
mengurangi nilai regu kita. Ingat ya. ‘
Pak Caetano mulai memberi wejangan sedangkan kami sibuk melahap
makanan ringan yang tersedia.
Tak lama kemudian pak Bupatipun
datang dan acara penyambutan dimulai namun aku hanya bisa melihat dari jauh
melalui kerumunan kepala peserta gerak jalan yang sudah siap didepanku.
Beberapa saat kemudian, barisan didepan kami mulai bergerak dan Pak Caetano
mulai memberi aba-aba siap kepada kami. Aku ada di baris keempat barisan depan
karena kami tidak begitu tinggi sementara anak-anak yang tinggi berada
dibarisan belakang regu. Lomba gerak
jalan antar sekolah pun dimulai.
Dengan penuh konsentrasi regu
kami mulai berjalan dengan gaya militer meninggalkan areal kantor PEMDA dan
menelusuri kampung Kartini I.
rri.co.id |
Sepanjang jalan, para warga kampung beramai-ramai
menunggu ditepi jalan untuk melihat aksi gerak jalan ini. Kebanyakan dari
mereka juga adalah para orangtua dari murid-murid yang sedang sibuk gerak jalan
diregu ini. Sebagian orangtua ini histeris begitu melihat anak-anak mereka, ada
yang memanggil anaknya sambil tertawa kagum seolah tidak percaya anak mereka
bisa tampil gagah dan menawan hari itu. Sayangnya, karena dipanggil dan digoda,
beberapa anak menjadi tidak fokus dan
salah menggerakkan kaki karena harus menoleh kea rah panggilan itu. Pak Caetano
yang melihat itu segera medekat ke regu kami dan mulai memperingatkan.
“Hey anak-anak, lihat kedepan
jangan lihat kiri-kanan! Biar mama-bapa berdiri disana dan panggil juga jangan
menoleh! Kalian jadi salah langkah ini.
Nanti pulang, kalian masih ketemu bapa mama. Sekarang semuanya lihat ke depan
dan konsentrasi. Jangan salah langkah!!!!”
Melihat wajah garang pak Caetano,
aku jadi gelisah dan mulai mengihtung langkah kakiku agar selalu benar. Kanan,
kiri, kanan,kiri, kanan, kiri. Begitu seterusnya.
Setelah kampung Kartini I kami akan masuk
daerah Tanah Putih yang juga jadi tempat lokasi markas Asrama Militer TNI 745.
Aku mulai khawatir, apa mama juga sedang menungguku dipinggir jalan dan nanti
akan memanggil-meanggil namaku dengan keras sehingga aku jadi salah langkah? Oh
jangan sampai itu terjadi. Kami semakin dekat dengan daerah kampung Tanah Putih
dimana warga sekitar juga sudah beramai-ramai berdiri disepanjang tepi jalan
raya untuk menonton ajang lomba gerak jalan dari kantor PEMDA ke Kota. Tingkah
yang sama kembali terjadi dimana anak-anak regu dipanggil-panggil orangtuanya
dan membuat mereka salah langkah sampai ada yang tersandung kaki temannya dan
jatuh namun segera berdiri dan berjalan lagi. Pemandangan ini malah jadi
tontonan lucu untuk warga sekitar yang terbahak-terbahak akan adegan ini.
Mungkin mereka mengira ini bagian dari pertunjukkan. Seharusnya para orangtua ini mengerti kalau
anak-anak mereka saat ini bukan sedang mekakukan aksi karnaval seperti di
Brazil sana.
Semakin dekat dengan rumahku, aku
melihat ibuku juga sudah berdiri dipinggir jalan bersama para ibu-ibu tetangga
sebelah. Mereka menonton sambil sibuk mencari-cari seseorang. Pastilah aku yang
sedang dicari. Aku berkata pada diriku untuk tidak menatap mereka ketika lewat
didepan mereka nanti. Ya Tuhan, tolong buat mama tidak berteriak norak seperti
orangtua yang lain. Dan doaku terkabul. Mama memang tidak berteriak memanggil
namaku tapi malah tetangga kami yang berteriak memanggilku sambil tertawa. Ya
ampun, aku lupa meminta kepada Tuhan agar tetatanggaku tidak ikut memanggilku.
Akupun lewat didepan mama. Aku tidak ingin menatapnya tapi tatapan mama dengan
senyum hangatnya itu seolah berbicara padaku. Akupun melirik mama sejenak dan
senyumnya makin lebar ketika memandangiku. Mama hanya mengangkat jempolnya tanpa
suara namun bagiku seolah ia sedang berkata ‘kamu bisa nak, kamu harus semangat
ya’. Ah, kalau saja aku tidak sedang dalam gerak jalan, aku pasti sudah lari
kepadanya dan merangkulnya. Barisan kamipun berlalu dengan teratur dan aku tiba-tiba merasa menjadi
lebih semangat.
Barisan gerak jalan terus maju
dan mulai melawati perkampungan sekitanya seperti kampung Perekiki dan kampung Kauto yang masih menjadi bagian dari
Desa Fuiloro di kota Lospalos. Melewati dua kampung ini cukup nyaman karena
kedua kampung tersebut berada disebelah kanan jalan raya sementara disebelah
kirinya hanya tumbuh pepohonan jati yang tinggi sepanjang jalan sehingga melindungi
para pejalan-kaki dari teriknya sinar matahari. Jati-jati ini menurut cerita
orang ditanam sejak zaman Portugis dan oleh warga sekitar dinamakan Teka Ocho.
Entah tahun berapa jati-jati ini ditanam, tapi pepohonan jati ini tumbuh dengan
rindang juga menjadi tempat favorit bagi para pejalan kaki bila mereka tidak
ingin lewat jalan raya pada siang hari.
Selanjutnya, menurut informasi kami akan terus maju menuju kampung Motolori, Sawarika, Laruara,
Daerah pertokoan Toko 1 dan sekitarnya hingga berakhir di Lapangan Merdeka
didekat SDN no 3 daerah Sentral kota Lospalos. Ketika masuk didaerah Motolori,
beberapa anak mulai berjatuhan karena pingsan sebab matahari sudah tinggi dan hari akan
menjelang siang. Para guru dan petugas yang bertanggung jawab segera menolong
anak-anak tersebut untuk keluar dari barisan. Regu barisan kamipun mulai
kekurangan dua anggota karena pingsan juga. Rasa khawatir kembali menderaku.
Apa aku juga akan pingsan ditengah jalan seperti mereka? Ah, akan terbuang
sia-sia saja semua perjuanganku selama ini kalau aku sampai pingsan ditengah
jalan dan tidak bisa sampai digaris finis. Akan terbuang sia-sia pengorbananku
menahan sakit akibat pedasnya rotan pak Caetano dikakiku. Tuhan, tolong bantu
aku sampai garis finis. Begitulah aku memohon walau aku tidak tahu apakah Tuhan
akan mengabulkannya atau tidak.
Kamipun melewati kampung Motolori
dan maju menuju daerah kampung Sawarika dimana kami melewati SDN no 1 dan SDN
No. 2 yang terkenal di Kota Lospalos karena murid-murid perempuannya
cantik-cantik dan kebanyakan orang Jawa tapi sebenarnya anak-anak pribumipun tak kalah cantik dan ganteng. Aku sering melihat mereka setiap kali
mengikuti misa anak-anak dihari jumat bersama para suster dari kongregasi Amal
kasih Darah Mulia (ADM). Suster-suster
ini kebanyakan ramah dan berwajah
penyayang bak ibu peri dalam dongeng berbeda dengan beberapa suster dari kongregasi Canossa yang sebagian
terlihat begitu tegas seolah tidak boleh disentuh. Orang-orang masih ramai
berdiri tepi jalan menyambut kami dengan tatapan kagum, senang, lucu dan
bingung.
Memasuki daerah Laruara,
lagi-lagi ada beberapa anak dibarisan regu lain yang jatuh pingsan. Kali ini, tiap
regu barisan sudah tidak sepadat dan selengkap pagi tadi karena beberapa
anggota mulai gugur ditengah jalan seperti dalam kisah perang kemerdekaan yang
aku baca dibuku Bahasa Indonesia. Syukurlah, aku masih bisa berjalan dengan lancar
dan teratur walaupun sebenarnya kaki dan tanganku juga sudah mulai pegal. Akhirnya
gerakanku mulai tidak teratur walaupun aku masih berusaha untuk seimbang dengan
yang lain. Pak Caetano kemudian memberi aba-aba untuk gerakan jalan bebas. Aku
mulai lega. Aku tidak perlu mengangkat kakiku lagi tapi kami tetap harus mengayunkan tangan dengan
teratur. Ah sebenarnya ini sama sekali bukan gerakan jalan bebas.
Dari Laruara rombongan gerak
jalan terus melangkah mengitari bundaran Toko 9 dan kemudian berjalan maju
mengambil jalur kiri daerah pertokoan Toko 9 dan sekitarnya menuju bundaran
Toko 1. Matahari semakin terik membakar dan beberapa anggota regu kami mulai terlihat lesu. Mungkin sebentar lagi
akan jatuh pingsan.
“Anak-anak, tetap semangat ya.
Sebentar lagi garis finis sudah dekat.”
Kata-kata pak Caetano seolah
membangunkan kami dari mimpi. Tanpa aku sadari, kami sudah melawati areal
pertokoan kota Lospalos dari Toko 9 sampai Toko 1 dan sekarang kami mulai turun
menuju Lapngan Merdeka dimana kami akan melewati gereja Santo Paulus Paroki
Lospalos dan Rumah Sakit Lospalos serta Merkadu Lama bekas bangunan pasar
tua di Lospalos. Yah, hanya tiga bangunan lagi Lia, dan sebentar lagi kau akan
sampai. Aku mulai menguatkan diri padahal lapar mulai menggelitik perutku.
Kalau sedang dirumah pasti aku sudah makan tapi demi garis finis aku harus
bertahan sampai selesai.
Gereja Santo Paulus Lospalos pun
kami lewati perlahan-lahan dan mulai maju melewati Rumah Sakit Lospalos. Aku
jadi semakin tidak sabar untuk segera sampai. Tiba-tiba Lapangan merdeka terasa
sangat jauh walau sudah dekat. Itu karena kami berada di barisan tengah dan
harus melangkah teratur mengikuti barisan didepan kami. Pak Caetano kembali memberi aba-aba untuk kembali
berjalan sambil mengangkat kaki kanan dan kiri bergantian secara teratur dan
serentak bersama-sama dalam regu. Ternyata begitu strateginya, bila masih ditengah
jalan, cukup berjalan santai, ketika sudah dekat barulah kembali pasang gerakan
asli.
Tak lama kemudian, kami sudah
melewati Rumah Sakit Lospalos dan sebagian sisi Lapangan Merdeka dengan
rumputnya yang hijau terpangkas rapi bak karpet mulai nampak dimata kami. Lapangan
Merdeka itu biasanya dijadikan sebagai lapangan upacara bendera atau tempat
pertandingan sepakbola dalam kota. Sekali
lagi aku penasaran, kenapa lapangan ini dinamakan Lapangan Merdeka kenapa bukan
nama yang lain?
Sudah dekat, begitulah kata kami
dalam hati. Barisan gerak jalan kami semakin sedikit begitu juga regu lainnnya.
Memasuki daerah Lapangan Merdeka, sudah ada banyak orang disana.
Akhirnya kami tiba garis finis dan
disambut oleh para guru dan beberapa pejabat daerah yang duduk santai didalam
tenda militer warna hijau yang memang disediakan untuk mereka. Ada bapak Bupati
dengan seragam warna putihnya yang secerah kapur tulis, para tentara dengan seragam loreng hijau yang
mencolok, ibu-ibu PERSIT dengan seragam hijau tua dan dandanan menor serta
orang-orang dewasa lainnya yang aku sendiri tidak tahu sedang apa disitu.
Mereka hanya menatap kami dengan sikap acuh tak acuh walau ada yang tersenyum
penuuh simpatik.
Ternyata setelah melewati garis
finis, kami tidak perlu berbaris lagi. Acara gerak jalan hari itu selesai
digaris itu. Aku lega karena aku memang sudah tidak sanggup lagi harus berbaris
sambil berjemur dibawah terik matahari. Aku mulai lapar juga haus. Aku mencari–cari
kalau ada penganan atau minuman tertentu yang disiapkan. Aku berharap Ibu guru
Milli ada disini agar aku bisa bertanya tapi sayang ia pun tak ada. Baiklah, memang tidak
ada makanan atau minuman. Aku tidak mau jatuh pingsan disini. Pak Caetano juga
mulai tidak kelihatan sementara hari makin panas. Akhirnya aku mulai tidak
peduli lagi tentang hasil kemenangan gerak jalan hari ini. Perjalanan sepanjang
gerak jalan ini sudah cukup untukku.
Aku merogoh kantong rokku. Tadi
pagi mama sempat memberi uang receh sebanyak duaribu rupiah. Aku segera keluar
dari lapangan itu dan mencari penjual es mambo dipinggir jalan. Kudapati seorang
ibu paruh baya dengan dagangan kue dan termos es didepannya melirik kearahku dengan wajah sayu. Ada
kue donat tapi aku tidak tertarik walau pun aku memang sedang lapar. Aku hanya
membeli dua batang es mambo warna kuning dengan kemasan panjang seperti sosis seharga
seratus Rupiah per batang. Dinginnya es mambo sangat menyejukkan tenggorokan ketika dihisap.
Selesai minum es mambo, akupun
segera mencari Mikrolet untuk bisa pulang. Mikrolet adalah angkutan umum dalam kota yang berbentuk
minibus. Siang ini Kebanyakan Mikrolet selalu penuh karena banyak orang yang
datang ke Lapangan Merdeka hari ini. Aku harus sabar menunggu karena terkadang Mikrolet
tidak mau berhenti untuk anak-ana sebab mereka tidak membayar
sesuai tarif yakni limaratus rupiah perorang. Aku terus menunggu berharap ada
Mikrolet yang mau berhenti siang itu.
Lima belas menit kemudian sebuah mikrolet
berwarna biru cerah bertuliskan kata AMIGO dikaca depan berhenti didepanku karena
ada beberapa anak muda yang turun. Aku segera naik dan berhasil mendapat
tempat duduk namun mikrolet masih berhenti untuk beberapa saat
menunggu penumpang lain hingga penuh. Tak lama kemudian, beberapa penumpang
berdatangan memenuhi mkrolet sebelum
kendaran ini melaju.
Aku pulang dengan wajah lesu ketika
mama menyambutku sambil menanyakan kisah
gerak jalanku hari ini. Aku tidak segera bercerita tapi langsung menyerbu meja untuk makan
siang dan tak lama kemudian aku sudah tertidur pulas dikamarku.
Pada sore hari setelah bangun,
barulah aku bercerita panjang lebar kepada mama. Mama mendengarku dengan takjub seolah aku hari
ini baru saja melakukan perjalanan ke bulan dan kembali lagi. Papa baru tiba
dari Baucau pada sore hari setelah seminggu berada disana untuk menghadiri
acara adat keluarga. Malamnya, mama menceritakan kembali kisah gerak jalanku
kepada Papa dan lagi-lagi papapun takjub atas kejadian hari ini. Aku senang
bisa bercerita kepada mereka tapi sayangnya aku tidak bisa memberitahu mereka
apakah regu kami menang dalam perlombaan atau tidak hari ini. Namun lebih dari semua yang terjadi hari ini, aku tidak tahu bahwa hari ini adalah hari terakhir aku ikut perayaan 17 Agustusan di kota Lospalos. VZ
Terharu dengar ceritanya di kota ini aku di besarkan di lospalos apa masih ada teman temanku di sana ceritanya detail sekali ....mengingatkan kota lospalos
BalasHapussaya anak sdn 3 lospalos
Terimakasih saudara Dani Yusup sudah menyempatkan untuk membaca cerpen diary saya ini. Saya tidak menyangka cerpen diary tentang sepenggal nostalgia masa kecil di Lospalos ini bisa membuat anda ikut menenmukan kenangan masa kecil anda ketika masih dikota ini. SDN 3 sampai sekarang masih ada dengan nama yang sama walaupun sudah diganti menurut bahasa Portuguis. Kalau boleh tahu saudara disana waktu tahun berapa dan angkatan tahun berapa waktu SDnya? Kiranya saya masih akan menulis cerita-cerita lainnya tentang Lospalos dan semoga dapat anda baca juga. Salam dari Dili (VZ)
HapusWah, saya senang membaca cerita anda, masih ingat banget ya seluk beluk kota lospalos. Nama saya beni bunga, dulu pernah tinggal di lospalos, saya sekolah di SD 11 Kartini tahun 1992 sampai 1997.
HapusWah,senang membaca cerita anda, masih ingat banget seluk beluk kota lospalos ya. Nama saya beni bunga, dulu sekolah di SD 11 Kartini Lospalos
HapusBagus sekali Mana.. #proudofyou
BalasHapusObrigada belun @Nurul. Loron diak mos ba ita
Hapus