Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

ENTRE SIMU NO LA SIMU

Gambar
Photo: Referendo Timor-leste Kalan molok loron ida-ne'e, ha'u-nia inan-aman nomós inan-aman no maun-alin barak husi uma-sorin, sidade tomak no karik iha rai Timor tomak neon la hakmatek. La hakmatek ida-ne'e karik la'os deit hodi kalan, maibe hahú ona kalan rihun hirak molok ne'e. Hori uluk kedas Timor hakarak ukun-an rasik an hodi kore an husi opresaun kolonialismu, liberta an nudar humanu. Maibé dalan ba liberdade mak la kabeer.  Opressaun ida atu rohan, opressaun seluk hahú fali. Hanoin katak terus ida atu rohan, afinal terus seluk mak tama fali mai duni povu Timor kbiit laek ho bomba, mate namkari lemorai iha rain rasik. Rain rasik be ema rai seluk ida ukun ho kroat, ukun ho kilat halo maun alin sira be derepente lakon leet iha kalan nakukun no la fila fali mai. Laiha adeus. Inan-aman no família mak hela isin ki'i, fuan tanis wain, matan moris neon nain lerek. Tansá terus ne'e? Tansá mate no lakon ne'e? Nune'e loron kal

IBU DAN ANAKNYA YANG MERANTAU

Gambar
www.pinterest.com Sudah 5 tahun mereka berpisah. Ibunya tinggal sendiri dirumah tembok kokoh abu-abu bertingkat dua yang dibangun dari hasil keringa t anaknya yang sedang merantau. Anaknya tinggal disebuah kamar flat bersama teman-teman sesama anak rantau di tengah kota Jam Dinding Besar itu. Tiap malam, ia banting tulang bekerja sebagai buruh pabrik demi segenggam poundsteling untuknya dan keluarganya diujung timur dunia. Ketika malam tiba, ia pandangi langit malam dari jendela kaca itu sambil melukis wajah wanita tua pujaannya dengan doa.  Sementara dirumah tembok abu-abu itu, tiap malam ibunya masih setia menyisihkan jatah makan malam di piring kesayangan anaknya. Bila adik-adiknya bertanya 'kenapa nasi sepiring itu harus selalu dihidangkan mah? Kakak tidak disini lagi kan?'  Ibunya menjawab 'Nak ini untuk kakak. Semoga diperantauan sana ia juga sedang makan malam seperti kita.' Selesai makan malam, satu-persatu anak-anaknya mulai terlelap dikamar mer

Surat Untuk Julio

Gambar
Untuk Julio,  Terima kasih telah menemaniku selama tiga-puluh hari ini. Ada banyak hal yang terjadi selama kita bersama. Namun, ada juga pelajaran terbesar yang kau berikan tentang pentingnya saling mambantu. Bahwa saling membantu itu kadang menuntut waktu, tenaga dan pengorbanan kita meskipun toh bukan untuk memperkaya atau memiskinkan kita juga. Saling membantu itu bukan karena kita akan menerima upah untuk jerih payah kita. Saling membantu terkadang dikarenakan orang lain yang memohon pada kita dan kemudian permohonan itu malah menjadi tanggung jawab moral untuk kita walaupun kita bisa saja menolak dan mengatakan 'tidak mau'. Akan tetapi, tak akan adil rasanya bila kita menahan bantuan yang seharusnya dapat kita berikan. Apakah itu salah? Julio, ternyata ketika kita saling membantu dan bantuan itu berjalan dengan baik maka kita merasa akan senang. Entah kenapa namun bila bantuan tersebut tak membuahkan hasil, maka terkadang kita juga akan merasa iku

Dia Seorang Putra Altar

Gambar
Pada suatu ketika, dalam barisan tunggal komuni, kulihat sepasang mata sipit indah itu menatapku dari altar dengan senyum tipis dari wajah lugunya yang seolah berkata 'mari makin mendekatlah'.  Ia berdiri disamping imam menyodorkan pinggan emas untuk setiap mulut yang menerima hosti suci. Dan aku gemetar dalam setiap langkah majuku kepadanya dan sang imam. Tidak pernah kudapati tatapan seperti itu darinya. Masihkah aku pantas maju atau haruskah aku keluar dari barisan?  Aku semakin kedepan dan dia masih menatapku. Terang kerah kuning melingkar pada jubah putra altar itu makin menyinari wajahnya. Selangkah demi selangkah aku maju, dengan jantung yang seolah siap meledak bagai bom waktu. Sampai tiba giliranku berdiri didepan tatapannya, waktu seolah berhenti seketika. Kupejam mataku dan hosti putih kecil itu masuk ke mulutku.  Aku segera bergeser dan berbalik ketempat dudukku. Komuniku mungkin telah tercemar dalam missa ini.  Sejak itu, tiap kali aku ikut mis

Dia Seorang Putra Altar

Gambar
Pada suatu ketika, dalam barisan tunggal komuni, kulihat sepasang mata sipit indah itu menatapku dari altar dengan senyum tipis dari wajah lugunya yang seolah berkata 'mari makin mendekatlah'.  Ia berdiri disamping imam menyodorkan pinggan emas untuk setiap mulut yang menerima hosti suci. Dan aku gemetar dalam setiap langkah majuku kepadanya dan sang imam. Tidak pernah kudapati tatapan seperti itu darinya. Masihkah aku pantas maju atau haruskah aku keluar dari barisan?  Aku semakin kedepan dan dia masih menatapku. Terang kerah kuning melingkar pada jubah putra altar itu makin menyinari wajahnya. Selangkah demi selangkah aku maju, dengan jantung yang seolah siap meledak bagai bom waktu. Sampai tiba giliranku berdiri didepan tatapannya, waktu seolah berhenti seketika. Kupejam mataku dan hosti putih kecil itu masuk ke mulutku.  Aku segera bergeser dan berbalik ketempat dudukku. Komuniku mungkin telah tercemar dalam missa ini.  Sejak itu, tiap kali aku ikut mis