IBU DAN ANAKNYA YANG MERANTAU
www.pinterest.com |
Ibunya tinggal sendiri dirumah tembok kokoh abu-abu bertingkat dua yang dibangun dari hasil keringat anaknya yang sedang merantau.
Anaknya tinggal disebuah kamar flat bersama teman-teman sesama anak rantau di tengah kota Jam Dinding Besar itu. Tiap malam, ia banting tulang bekerja sebagai buruh pabrik demi segenggam poundsteling untuknya dan keluarganya diujung timur dunia. Ketika malam tiba, ia pandangi langit malam dari jendela kaca itu sambil melukis wajah wanita tua pujaannya dengan doa.
Sementara dirumah tembok abu-abu itu, tiap malam ibunya masih setia menyisihkan jatah makan malam di piring kesayangan anaknya. Bila adik-adiknya bertanya 'kenapa nasi sepiring itu harus selalu dihidangkan mah? Kakak tidak disini lagi kan?'
Ibunya menjawab 'Nak ini untuk kakak. Semoga diperantauan sana ia juga sedang makan malam seperti kita.'
Selesai makan malam, satu-persatu anak-anaknya mulai terlelap dikamar mereka. Sebelum ia membereskan semua piring kotor, dipandanginya lagi nasi sepiring itu dengan tersenyum namun matanya berkaca-kaca. Ia sangat rindu anaknya yang jauh itu. Entah kapan lagi ia bisa memeluknya, seperti ketika anaknya baru berumur dua tahun, mulai berjalan dan berlari ke pelukannya dengan tertawa ceria.
Esoknya, anaknya menelfon. 'Mah, kami mungkin harus pulang'.
'Kenapa? Kau membuat masalah disana?' Tanya ibunya. 'Tidak mah. Ini masih kemungkinan. Para pribumi mungkin akan menyuruh kami pulang.'
Ibunya senang mendengar kata 'pulang' yang sudah lama ditunggunya.
'Nak, jika kau harus pulang. Maka pulanglah. Tanah dan keluargamu senantiasa menerimamu. Kita bisa mulai dari awal lagi seperti dulu.'
'Tidak mah, aku tidak bisa kembali begitu saja. Masih banyak yang harus kukejar mah.'
Tak lama kemudian, percakapan telfon selesai. Namun keresahan ibu dan anaknya itu belum juga selesai.
VZ,
Dili, 28 Juni 2016
Komentar
Posting Komentar