KELUARGA CEMARA DALAM INGATANKU DAN ALM. ARSWENDO ATMOWILOTO


Waktu masih anak-anak di zaman Indonesia tahun 1990an, serial Keluarga Cemara adalah salah satu serial populer yang sering saya tonton di RCTI setiap hari minggu siang di Lospalos.

Berlatar belakang keluarga etnis Sunda,    serial ini adalah tentang kisah sehari-hari keluarga Abah beserta istri dan ketiga anak perempuannya (Euis, Cemara dan Agil)  serta liku-liku kehidupan mereka yang sederhana. Pada beberapa episode (yang masih saja saya ingat secara samar) ada tiga adegan yang bagi saya rasanya masih saja menohok nurani sampai sekarang bila dikenang lagi.

1. Kue Ulang Tahun

Ketika Ara (Cemara) dan Euis, kakak perempuannya berdagang opak dengan jalan kaki sepanjang jalan kota lalu Ara seketika berhenti di depan sebuah toko kue untuk memandang sebuah kue ulang tahun yang sudah terpajang cantik dibalik etalase kaca toko kue tersebut. Hari itu ulang tahun Ara dan ia berharap bisa merayakan ulang tahun dengan kue itu. Euis yang sudah berjalan duluan menengok ke belakang mencari Ara. Mendapati Ara masih berdiri di depan toko kue,  sang kakak lalu menghitung uang hasil berjualan opak. Tidak cukup.

2. Murid Baru

ada murid baru di kelas Ara bersekolah (sekolah dasar), namanya Pipin. Ia seorang anak perempuan dari keluarga kaya dan dikenalkan oleh ibu guru pada seisi kelas. Ibu guru tersebut kemudian meminta setiap murid lama untuk berdiri dan berjabat tangan dengan Pipin sebagai tanda penyambutan. Sebelum sampai giliran Ara, seorang anak perempuan lain yang mendahului Ara membisikkan sesuatu pada telinga Pipin. Ketika giliran Ara mengulurkan tangan untuk bersalaman, Pipin tidak membalas lalu berkata, "bu guru, saya tidak mau bersalaman dengannya. Tangannya bau". Seisi kelas menatap Ara penuh cemooh. Tanpa bersalaman dengan si murid baru, Arapun melangkah kembali ke tempat duduknya sambil mencium kedua telapak tangannya sendiri dengan wajah bingung.

3. Lomba kostum parade 17 Agustusan

Ada lomba kostum diadakan untuk parade 17 Agustusan  di sekolah. Sebagai persiapan, di rumah Pipin, si anak orang kaya (murid baru tadi), ibunya kebingungan memilih kostum pakaian daerah mana yang lebih cocok untuk putri kecilnya. Semua terlihat bagus.
Sementara di rumah Ara, keluarganya tidak punya cukup uang untuk membeli baju baru atau pakaian daerah unik untuk dipakai Ara pada perlombaan nanti.
Pada hari H, semua anak tampil cantik memakai pakaian daerah dan saling pamer satu sama lain lalu mengikuti parade. Saat semua orang menunggu barisan terakhir parade, disanalah Ara muncul dengan memakai seragam gaun putih pendek khas perawat zaman perang dan diantar dengan becak oleh ayahnya yang juga memakai kostum seragam khas pejuang. Becak yang mereka kendarai sudah diubah menjadi pesawat (atau helikopter) dengan hiasan kertas warna-warni dan balon-balon yangmenyembul meriah. Semua orang terkesima dengan kedatangan Ara pada parade itu.
Ara memang tidak mendapat juara 1  untuk kostumnya tapi malah jadi juara favorit oleh juri dan semua orang karena penampilannnya yang cukup unik bersama sang ayah. Mereka berdua pulang ke rumah dengan berbagai hadiah dari perlombaan dan senyum tawa riang gembira terukir di wajah.

Hari ini, saya baru menyadari  bahwa serial ini terlalu berat untuk ditonton seorang  anak kecil pada waktu itu karena unsur kritik sosialnya cukup kuat. Si kaya yang sombong an si miskin yang sederhana.  Potret ironi sosial disekitar kita. Saya ingat saat itu, saya akhirnya merasa tidak sanggup menonton episode-episode  berikutnya. Miris rasanya melihat Ara dan keluarganya tidak bisa menikmati hidup semudah keluarga Pipin yang kaya raya itu meskipun keluarga Ara juga punya kebersaamaan dan selalu saling mendukung dalam suka duka. Karena rasa baper inilah, saya (yang masih anak-anak itu) lebih memilih nonton serial Power Rangers, Xena atau Hercules pada hari minggu siang dan belakangan mulai jarang menonton serial itu.

Membaca berita kematian almarhum Arswenso Atmowiloto dari timeline teman-teman di Indonesia hari ini, awalnya saya kira saya tak cukup mengenal beliau untuk bersimpati. Tak di sangka, sastra dengan sayap-sayap ajaibnya telah mengenalkan saya pada alm. Bpk. Arswendo secara tak langsung melalui karyanya bahkan sejak saya masih anak-anak.

Tiga adegan diatas masih saja terkenang dan bagi saya adalah pencerahan tentang bagaimana manusia mampu bertahan dalam hidup yang serba kekurangan namun tetap bisa menghargai hidup dan kekurangan itu sendiri.

Selamat  jalan 'mestre' dan beristirahatlah dalam damai. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aprende husi Sócrates: Ta’es Dala Tolu

Domin no Diferensa

Feto no Lideransa: Wainhira Feto Ida Sai Lider