Review novel Polaroid




www.goodreads.com
Polaroid menjadi novel Malaysia pertama yang saya baca setelah mendapatkannya sebagai hadiah dari seorang teman yang juga berasal dari Malaysia Ridhwan Saidi. Awalnya saya sempat ragu tidak bisa membaca novel ini karena bahasa Melayunya. Namun berbekal bahasa Indonesia yang masih saya mengerti dan sedikit kosakata Melayu yang saya ingat dari kartun Upin-Ipin akhirnya setelah menelusuri tiap halaman, saya berhasil membaca dan memahami isi novel ini sampai selesai dengan baik. Meskipun demikian,  tetap saja masih ada sebagian kosakata Melayu yang memang  kurang saya pahami dalam buku ini, mungkin karena baru pertama kali membaca karya sastra Melayu dan saya juga bukan orang Malaysia heheheh.

Tampilan fisik buku ini cukup menarik, salut buat Moka Mocha Ink. Buku ini simple namun tetap cantik buat saya Jenis kertasnya pun enak disentuh. Sampul  buku ini cukup literal menggambarkan judul novelnya yakni tentang foto Polaroid yang simple,  praktis namun meninggalkan kesan yang mendalam untuk yang melihat atau memilikinya. Begitulah judul novel inipun sudah cukup membuat saya penasaran. Kira-kira apa yang hendak Mohd Azmen sampaikan dalam polaroid novel ini ? Dan kemudian pembaca akan mulai masuk ke dunia polaroid Mohd Azmen ini. 

Tema sentral novel adalah romansa/kisah cinta pada umumnya. Seorang pemuda yang menjalin hubungan pendekatan dengan gadis pujaan bernama April melalui media social setelah sang gadis menjual kamera model Polaroid kepadanya.  Dari awala novel ini, Mohd Azmen tidak menunjukkan identitas sang pemuda dengan jelas dan ini baru saya sadari setelah membaca keseluruhan novel dan malah menambah rasa penasaran saya terhadap tokoh pemuda tersebut. 

Mohd Azmen mengambil topik insiden bom di Boston yang menjadi unsur dari utama dari twist dalam hubungan sang pemuda dengan April. Cukup emosional nan menyentuh sebenarnya. Disini Mohd Azmen seolah hendak menyampaikan pesan tentang bagaimana seseorang harus benar-benar tegas dalam menggunakan waktu dan  kesempatan sebaik-baiknya karena dalam setiap detik apapun bisa terjadi dan melenyapkan kesempatan tersebut. 

Selain itu, dari novel ini saya jadi ikut belajar tentang kehidupan orang Malaysia pada umumnya seperti kebiasaan sarapan, kebiasaan pekerjaan kantoran di Malaysia, dan lelucon ‘Iblis dan tonik’ P. Ramlee yang membuat saya juga sempat bingung seperti tokoh utama diawal cerita.  
Pada bagian akhir, saya pikir aya akan mendapat kejutan berarti dari niat alur cerita. Sayangnya, saya harus menggantung perasaan itu sebab justru pada bagian akhirlah Mohd Azmen baru akan memulai kisah perjalananan sang pemuda. Saya cukup kagum pada Mohd Azmen untuk bagian akhir novel ini. Seolah-olah  Mohd Azmen hendak berkata ‘Sebuah Awalan adalah Akhir dan Sebuah Akhiran adalah awalnya’. Saat ini saya masih penasaran apakan Polaroid ini ada sekuelnya?
VZ

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Aprende husi Sócrates: Ta’es Dala Tolu

Domin no Diferensa

Feto no Lideransa: Wainhira Feto Ida Sai Lider